Oleh: Dr. Supriadi, S.Ag., M.Pd
(Dosen UIN Bukittinggi, Sumatera Barat)
Setiap kali rakyat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hari Guru Nasional, kita sering membaca berbagai pendapat ahli pendidikan melalui artikel yang mereka tulis berkenaan dengan ulasan, kritik dan saran mereka seputar persoalan sistem pendidikan nasional termasuk kurikulum yang tengah berlangsung di Indonesia. Kalau semua ide yang disarankan tersebut dikumpulkan dalam sebuah kompilasi dan kemudian dikaji lebih mendalam, sungguh akan menjadi referensi perbaikan yang konstruktif dalam menata sistem pendidikan nasional yang lebih baik lagi, apalagi dalam mengkritisi sistem pendidikan nasional yang sudah berusia 22 tahun, sudah cukup tua dan perlu penyesuaian dengan zaman.
Sejak merdeka, Indonesia sudah memiliki 4 produk hukum yang mengatur jalannya sistem pendidikan di negeri ini, mulai dari UU no 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Sebuah produk hukum awal yang menunjukkan upaya negara membangun sistem pendidikan baru pasca kemerdekaan, kemudian yang kedua UU No. 19 Tahun 1965 yang dikenal dengan istilah UU PNPS yang mengatur tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, Kemudian UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mencoba menata ulang struktur pendidikan formal, nonformal, dan informal secara lebih sistematis. Dan terakhir diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang hingga kini menjadi dasar utama dalam pengelolaan pendidikan dan memperkenalkan konsep-konsep yang lebih fleksibel, seperti pendidikan berbasis standar dan otonomi satuan pendidikan. Namun di balik rentetan undang-undang tersebut, problem utama tetap muncul yaitu regulasi berubah, namun arah filosofi pendidikannya sering tidak tuntas dibahas, sehingga kebijakan di lapangan kerap berjalan tidak sinkron dengan realitas belajar.
Sementara itu, jika dilihat dari rentang kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang, maka kurikulum mengalami dinamika yang lebih panjang. Indonesia telah mengalami 11 kali perubahan kurikulum, mulai dari kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, Suplemen 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, KTSP 2006, hingga Kurikulum 2013 dan kini Kurikulum Merdeka.
Setiap perkembangan kurikulum selalu saja ada fenomena tersendiri. Pertama, perubahan kurikulum sering didorong oleh tuntutan politik dan pergantian rezim, bukan karena kebutuhan pedagogis semata. Kedua, setiap perubahan cenderung mengulang masalah yang sama yaitu ketidaksiapan guru, minimnya infrastruktur, dan perbedaan kualitas antar wilayah yang terlalu lebar. Ketiga, revisi kurikulum lebih menekankan aspek administratif ketimbang substansi pembelajaran, sehingga guru terbebani dokumen, bukan diberdayakan secara intelektual. Keempat, kurikulum ini belum pernah secara sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan terbesar pendidikan modern, seperti kesenjangan antara minat dan bakat peserta didik dengan arah kebijakan negara. Maka wajar bila guru menjadi pihak yang paling lelah mengikuti perubahan yang seakan tidak pernah final. Kelima, perkembangan kurikulum mengabaikan sisi positif dari kurikulum sebelumnya, pemerintah lebih suka dengan istilah penggantian kurikulum, ketimbang pengembangan kurikulum seperti teori yang sering dipelajari mahasiswa di bangku perkuliahan.
Sebagai contoh, sejarah pendidikan Indonesia pernah mencatat satu fase penting yang justru sangat relevan dengan isu kompetensi yang kini diagungkan dalam 4 kurikulum terakhir. Indonesia pernah menerapkan kebijakan sekolah kejuruan sejak tingkat SLTP, bahkan jauh sebelum wacana pembelajaran berdiferensiasi seperti yang dieluk-elukkan pada kurikulum hari ini. Pada era 1950 hingga 1970-an (termasuk di dalamnya kurikulum 1952, 1964, 1968 dan 1975), Indonesia memiliki beragam sekolah kejuruan di tingkat SLTP seperti Sekolah Teknik (ST), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Pertanian Pertama (SPP), Sekolah Kepandaian Putri (SKP), Sekolah Guru Tipe A dan B, hingga Pendidikan Guru Agama (PGA).
Bagi pembaca yang lahir tahun 1960an hingga 1970an pasti tidak asing lagi dengan sekolah kejuruan tingkat SLTP ini, karena sekolah ini tidak hanya menyediakan jalur kejuruan, tetapi menjadi ruang awal bagi peserta didik untuk menekuni bidang minatnya. Seseorang yang sejak kecil menunjukkan ketertarikan pada dunia teknik akan langsung memasuki lingkungan yang menyuburkan ketertarikannya pada bidang teknik, sementara yang lebih berminat pada bidang pertanian akan diperkenalkan dengan ilmu budidaya dan hama sejak dini. Ketika seorang peserta didik berlatih teknik otomotif di usia 13 tahun, mereka bukan hanya mempelajari teori, tetapi menumbuhkan kompetensi melalui kebiasaan, ritme, dan pola berpikir khas keahlian orang teknik. Pada usia yang sama, calon guru dibina dalam sekolah guru yang tidak sekadar mengajarkan materi pelajaran, melainkan juga praktik baik didaktik-metodik, dan etika profesi, bahkan guru zaman itu memiliki tulisan yang sama di seluruh Indonesia, bagus dan unik. Dengan kata lain, apa yang sekarang disebut pendidikan berdiferensiasi, sesungguhnya sudah lama dilakukan, bahkan dengan cara yang lebih organik dan terspesialisasi, tapi semua itu dihapus dan dilupakan
Menurut hemat penulis, perubahan drastis itu terjadi saat kurikulum 1984 (CBSA) diberlakukan, sejumlah kebijakan pemerintah kemudian mulai menjadikan pendidikan spesialisasi itu tergerus berubah menjadi pendidikan generalis, hal ini terlihat dari kebijakan penghapusan sekolah kejuruan tingkat SLTP yang tinggal hanya SMP dan MTs, sedangkan sekolah kejuruan tingkat SLTA, dilebur dengan istilah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sehingga terkadang kita sendiri bingung membedakan antara SMK ekonomi dengan SMK Teknologi,
Setelah reformasi terjadi di tahun 1998 pendidikan Indonesia kemudian dituding, sebagai penyebab rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, apalagi setelah survey yang dilakukan oleh Human Development Index (HDI) yang menempatkan Indonesia barada pada posisi 102 di bawah Vietnam. Akhirnya muara kesalahan itu ditimpakan pada kurikulum, kurikulumlah yang kemudian menjadi kambing hitam, hingga kemudian dengan kesan tergesa-gesa disyahkan kurikulum baru di tahun 2004 yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Memasuki era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kurikulum yang digadang-gadang mengusung ide kompetensi sebagai poros utamanya dan bercita-cita besar memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di tengah tudingan lembaga asing dan kacamata reformasi. Secara konseptual, KBK ingin menegaskan bahwa pendidikan tidak seharusnya menjejalkan pengetahuan kepada siswa, melainkan membentuk keterampilan yang dapat diterapkan.
Cita-cita besar atas pemberlakuan KBK dapat diungkapkan sebagai berikut; Pertama, kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara terpadu dalam konteks tertentu. Kedua, guru diharapkan menjadi fasilitator yang menuntun peserta didik mengalami proses belajar bermakna. Ketiga, kurikulum dirancang untuk membuka ruang kreativitas, proyek, dan penilaian autentik. Namun cita-cita besar ini tidak sepenuhnya berhasil karena proses implementasi berhenti pada level dokumen. Guru dipaksa menyesuaikan administrasi tanpa pernah diberikan pelatihan teknis yang memadai. Ketidakselarasan antara gagasan besar kompetensi dengan budaya belajar di sekolah, membuat KBK yang memiliki ide besar namun tidak berhasil turun ke praktik di kelas secara konsisten, bahkan kepanjangan KBKpun berubah menjadi “Kurikulum Banyak Kerja.”
Nasib yang sama juga dialami pada kurikulum KTSP (2006), alih-alih menyempurnakan kurikulum KBK yang prematur dan kemudian mati hanya dalam dua tahun, ternyata persoalan beban administrasi tidak juga menjadi perhatian, beban administrasi justru makin padat dan jelimet, pada kondisi ini muncul pula meme kepanjangan KTSP menjadi “Kalau Tak Sanggup ya Pensiun…!”.
Kurikulum Merdeka yang resmi digunakan sejak tahun pelajaran 2024/2025, mengusung konsep pembelajaran berdiferensiasi dan menjunjung kompetensi, sebuah gagasan bahwa setiap anak memiliki jalur, kebutuhan belajar, dan bakat yang berbeda. Namun jika dicermati secara historis dan filosofis, ide ini bukanlah produk baru. Apa yang disebut sebagai diferensiasi dan kompetensi, sebenarnya telah lama menjadi roh dari sistem pendidikan kejuruan tingkat SLTP seperti yang telah diceritakan di atas.
Pada masa itu, diferensiasi dan kompetensi dilakukan bukan melalui modul personalisasi atau proyek tematik, tetapi melalui kebijakan dan struktur kelembagaan yang mengakar dan memberi ruang bagi peserta didik untuk menekuni minatnya sejak dini. Jika dahulu seorang anak memasuki Sekolah Teknik pada usia 13 tahun, maka diferensiasi dan kompetensi terjadi secara nyata melalui materi, praktik, lingkungan pergaulan, dan kultur keahlian yang membentuk identitasnya sejak dari awal. Hal ini sejalan dengan prinsip terbentuknya kompetensi secara genuine, bukan melalui asesmen berlapis, bukan pula melalui modul digital, melainkan melalui habit formation, yaitu kebiasaan yang dibangun dalam waktu panjang dan konsisten, dalam konteks dan disiplin ilmu yang berkesinambungan.
Hemat saya, pendidikan berorientasi umum sesungguhnya hanya diperlukan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) saja sudah cukup. Selanjutnya, pada pendidikan lanjutan idealnya sudah diarahkan pada pendidikan kejuruan (vokasional) berdasarkan minat, kecenderungan, dan kapasitas bawaan peserta didik, bukan dipaksa mempelajari seluruh mata pelajaran secara generalis tanpa ruang penajaman dan pembiasaan. Pembelajaran berdiferensiasi dan kompetensi akan jauh lebih bermakna jika diberi wadah kelembagaan, bukan sekadar modul, atau bisa juga kompetensi tumbuh dari proses yang konsisten, bukan dari proyek insidental.
Dengan model pendidikan kejuruan sejak dari tingkat SLTP, kemudian dilanjutkan pada sekolah kejuruan yang sama di tingkat SMA, dipastikan rencana karir dan kecintaan siswa terhadap keahlian yang digeluti akan lebih terarah. Anak ST yang lanjut ke STM pasti memilih Fakultas Teknik dan tidak mau masuk ke fakultas yang lain, anak SPP yang lanjut ke SPMA dipastikan akan lanjut ke Fakultas Pertanian dan juga tidak mau ke fakultas lain, begitupun sekolah kejuruan lainnya. Pada gilirannya terjadilah pendidikan terarah (baca: terspesialisasi) dan akhirnya perguruan tinggi akan menjadi jauh lebih mudah mendidik input yang sudah terpolarisasi, berdiferensiasi dan berkompetensi, sedangkan dosen tidak perlu mengajari mahasiswa dari nol, biarlah yang mulai dari nol itu Pertamina saja.
Jika kebijakan sekolah kejuruan di tingkat SLTP dan SLTA kembali diadakan, maka angka lulusan SMA/SMK yang mendominasi grafik pengangguran Indonesia akan turun drastis, mereka sudah dipastikan mapan dalam keilmuan dan keterampilan untuk bekerja mandiri dan bahkan membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain dan yang paling spektakuler adalah, sebagian lulusan sekolah kejuruan tersebut dengan keuangan keluarga yang terbatas tidak perlu berfikir lagi untuk kuliah. Lebih baik lulusan sekolah kejuruan tapi bekerja dan mapan di bidangnya, ketimbang sarjana tapi menganggur atau bekerja asal-asalan tidak di bidangnya.
Dengan demikian, refleksi Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2025 ini semestinya tidak berhenti pada apresiasi moral terhadap jasa-jasa yang dilakukan oleh guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa saja, dengan memberikan mereka bucket bunga, kue ulang tahun atau lagu khusus yang diciptakan dan dinyanyikan bersama, lalu larut dalam suasana suka cita. Akan tetapi menuntut keberanian berbagai pihak untuk mampu mengurai benang kusut kebijakan pendidikan di negeri ini. Guru tidak boleh terus-menerus dijadikan objek pergantian sistem dengan manut, tetapi harus menjadi pelaku perubahan yang didukung secara struktural oleh pemerintah. Hidup Guru…! Dan Selamat Hari Guru..!
Komentar Anda :