Feature
Oleh: Hasanatul Khairiah *)
Subuh belum bertabuh di kawasan Mungo. Gunung Sago pun masih berselimut kabut. Namun, Hasril (65 tahun) bersama kolam, air dan ikan-ikan justru kian larut. Di pematang yang basah, kaki tuanya tak goyah melangkah. Lalu, keriput tangannya yang berbalur lumpur basah menebar pakan berupa pelet ikan. Begitulah ‘ritualnya’ membuka hari beberapa tahun terakhir ini.
Sejenak, tetesan embun tergelincir di ujung lalang lalu menetes perlahan ke permukaan kolam, membentuk pola lingkaran kecil, mengembang mencipta riak selaksana beningnya kaca. Ikan-ikan kecil meloncat riang bersamaan dengan cipratan air menari jelang matahari menyapa pagi.
Mungo dan Pembibitan Ikan
Nagari atau desa Mungo terletak di Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Dengan luas 11,04 km2, terdiri dari 11 jorong dan memiliki populasi sekitar 9.803 jiwa (2018). Peternakan atau budidaya perikanan darat menjadi sentra utama pencaharian masyarakat Mungo yang berlangsung sejak beberapa dekade. Hasril salah satunya.
Selain pusat ikan, Mungo berperan dalam pembangunan dan pemerintahan dengan visi mandiri dan berprestasi. Meski memiliki sejarah kaya, Mungo dan tempat pembibitan ikan seakan tak terpisahkan. Gaungnya sampai ke luar Payakumbuh, hingga ke provinsi tetangga, seperti Riau dan Medan.
Bagi warga Payakumbuh, Mungo dikenal sebagai jantung pembibitan ikan. Kata orang, ikan Mungo lebih kuat, lebih cepat tumbuh dan lebih segar. Bagi Hasril, keunggulan itu bukan semata karena kualitas tanah atau airnya, melainkan karena kesabaran orang-orang yang menanamkan cinta pada setiap benih ikannya. “Ikan-ikan itu seperti tahu kalau orang yang memeliharanya nggak sabar,” ungkapnya membuka obrolan, sembari menambahkan, “Jika menceburi peternakan pembibitan benih ikan harus tekun, dan tak akan jadi kalau dilakukan setengah hati.” Apalagi keberlangsungan budidaya pembibitan benih sudah dimulai dari soal pakan.
Pakan Peternakan Ikan
Umumnya pakan ternak ikan yang digunakan di Mungo meliputi pakan alami dan pakan buatan (pelet), terutama komoditas unggulan seperti ikan gurami, nila dan ikan mas.
Untuk pakan alami, masyarakat memanfaatkan bahan yang tersedia di lingkungan sekitar. Seperti dedaunan, terutama daun talas sente (keladi) yang diberikan kepada induk ikan gurami untuk mematangkan gonad-nya.
Berikutnya, pakan buatan (pelet) juga dipakai di sana. Dimana warga bisa mendapatkannya dari bantuan pemerintah kabupaten yang disalurkan melalui Dinas Perikanan kepada kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) untuk mendukung kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan.
Di sisi lain, masyarakat juga ada yang memakai pakan alami lain.
Soal pakan, biasanya tergantung jenis ikan yang dibenihkan. Apakah jenis nila, mas atau gurami. Pakan alami yang dipakai diantaranya; fitoplankton, zooplankton, kutu air (Daphnia) atau cacing sutera, terutama pada fase larva atau benih ikan.
“Pilihan pakan kadang menyesuaikan saja dengan tahap budidaya, mulai dari pemeliharaan induk, penetasan atau pemeliharaan benih,” tutur Hasril, kemudian mengingatkan, jika ketersediaan sumber daya lokal juga ikut memberi andil.
Menurunnya Debit Air
Peternakan pembibitan ikan di Mungo bukannya tanpa riak. Terutama faktor air sebagai media utama dalam pembibitan ikan. Ikan tanpa air sama saja manusia tanpa udara.
Medio 2023 silam, warga Mungo mengeluhkan menurunnya debit air dari sumber utama di Batang Tabik. Hal itu dapat mengancam keberlangsungan usaha mereka yang sebagian besar bergerak di perikanan darat. Bahkan, tak sedikit lahan beralih fungsi menjadi ladang karena kendala air tersebut.
Melansir media padangmedia.com (24/7/2023), keluhan itu disampaikan masyarakat saat kunjungan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat Supardi memanfaatkan masa istirahat bersidang (reses) masa persidangan ketiga tahun 2022-2023.
Masyarakat menyebutkan, untuk mengatasi persoalan air, ada tiga titik sumur bor namun tidak bisa optimal karena terkendala biaya operasional. “Ada tiga titik sumur bor namun terkendala biaya operasional sehingga tidak berfungsi maksimal,” kata Julius, salah seorang warga.
Lebih jauh, ia menerangkan, budidaya perikanan darat sudah menjadi usaha utama sebagian besar masyarakat Mungo. Bahkan, jenis ikan gurami merah yang dikembangkan masyarakat mendapatkan “hak paten” dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menurutnya, biasanya aliran Batang Tabik menjadi sumber air bagi masyarakat di beberapa jorong untuk memenuhi kebutuhan air. Beberapa waktu belakangan saluran dari sumber tersebut rusak dan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kolam ikan terlantar dan beralih fungsi menjadi ladang palawija, seperti jagung agar tetap menghasilkan.
Hal senada datang dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Mungo. Menurut Kepala Sekolahnya Intan Yunita, tahun 2010 ada sumur bor bantuan Dinas Perikanan dan Kelautan, namun tidak difungsikan karena kekurangan biaya bahan bakar minyak (BBM) operasional mesin.
Menyambut keluhan masyarakat tersebut, Supardi meminta persoalan itu disampaikan melalui wali nagari dalam bentuk proposal sehingga jelas rincian kebutuhannya. “Persoalan ini akan kami tindak lanjuti kepada pihak terkait, namun hendaknya disampaikan dalam bentuk proposal melalui wali nagari sehingga jelas dan tertulis,” katanya kala itu.
Dia meminta wali nagari proaktif melakukan pendataan terhadap seluruh sumber air yang ada, berikut kondisi kerusakannya. Sehingga upaya penanganan dan perbaikan terarah dan terukur, anggaran pun bisa diperkirakan. Dia menegaskan, setiap persoalan berkaitan perekonomian masyarakat akan diatasi sesegera mungkin.
Perikanan di Mungo
Perikanan di Mungo bukan hal baru. Dari generasi ke generasi, bersama dengan air, lumpur dan bibit ikan telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat setempat.
“Hampir setiap rumah memiliki kolam. Mereka bekerja memberi makan, mengganti air, menebar benih dan memanen hasilnya. Di sinilah ekonomi keluarga bertumbuh, sederhana tapi nyata,” ungkap Hasril yang pernah menjajal sebagai tenaga pendidik di “Bumi Lancang Kuning” Provinsi Riau.
Masa itu, sebagai laki laki berdarah Minang dirinya berjiwa petualang. Tepatnya, bukan lelaki namanya kalau tak merantau. Tapi itu dulu, kala darah muda masih bergelora di dadanya.
Kini, di usia senja, Hasril seperti kembali ke akarnya. Berkumpul bersama istri tercinta serta anak cucu. Ia seperti sadar betul peran dan fungsi laki-laki di Minangkabau bukan seringan menjentikkan jemari tangan. Bersebab, pada fase-fase tertentu bakal memainkan multi peran peran, yakni; seorang ayah, sumando, mamak/paman serta penghulu. Hasril memegang erat simpul yang sedemikian.
Waktu pun berlari tanpa permisi. Hasril pun memetik buah ketekunannya. Walau ia tak merinci dan menyebut angka nominal, musim produksi adalah waktu yang dinanti-nanti. Bagaimana kirai-kira produksi peternakan ikan di Mungo?
Pendapatan Rata-rata
Produksi pembibitan ikan di Mungo mengalami tantangan akibat menurunnya pasokan air dari sumber utama. Tiga titik sumur bor yang ada tidak berfungsi maksimal. Berdampak buruk pada budidaya perikanan darat, yang merupakan mata pencaharian utama sebagian besar warga (bps.go.id).
Meski tak ada data statistik mengenai produksi ikan, tetap saja masalah ini menunjukkan usaha pembibitan ikan di daerah tersebut menghadapi tantangan yang perlu dapat perhatian semua pihak.
Walau begitu, sebuah sumber pernah menyebut, pendapatan bersih rata-rata usaha pembenihan ikan di Mungo sekitar Rp41.706.200 per tahun atau Rp3.475.500 per bulan per pembudidaya, berdasarkan data analisis pendapatan usaha pembenihan ikan di Kelompok Ingin Maju Nagari Mungo.
Angka ini merupakan pendapatan rata-rata dan dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor. Di antaranya jenis usaha, dan angka di atas khusus untuk usaha pembenihan ikan (fish hatchery), bukan pembesaran ikan konsumsi di tambak biasa.
Kemudian, faktor produksi. Pendapatan dipengaruhi oleh jumlah panen atau produksi, luas lahan, biaya produksi (terutama pakan dan benih), harga jual ikan dan kondisi pengairan. Bicara produksi, tentu bermuara pada untung rugi.
Nah, bagi masyarakat Mungo tantangannya adalah fluktuasi harga dan penurunan pasokan air dari sumber utama (Batang Tabik) yang mau tak mau mempengaruhi pendapatan.
Selanjutnya, skala usaha. Setelah dianalisa, pendapatan tertinggi semestinya bisa melebihi angka rata-rata. Hal ini menunjukkan adanya variasi antar pembudidaya. Secara umum, budidaya ikan di Mungo masih gurih (rasio R/C > 1), terutama jika menggunakan sistem keramba jaring apung dengan kisaran pendapatan rata-rata lebih tinggi dibandingkan non jaring apung daripada wilayah lain.
Adapun Hasril memanen produksi ikannya dari menggarap halaman belakang rumahnya. Kok bisa? Karena ia sukses ‘menyulap’ halaman itu menjadi ruang hidup bagi peternakan pembibitan benih ikan.
Referensi berikutnya juga memberikan gambaran umum usaha pembenihan ikan di Mungo. Dari komoditas utama ikan mas, lele, nila dan gurame (produksi 2023), disebutkan; lele sebanyak 111.232 ton, nila sebanyak 51.437 ton, ikan mas sebanyak 6.571 ton dan gurami sebanyak 5.879 ton. Data ini menunjukkan bahwa Sumatera Barat, khususnya Nagari Mungo termasuk salah satu pusat budidaya ikan air tawar.
Terkait produksi bibit, Hasril paham betul kapan momen terbaik melepasnya ke pasar atau ke konsumen. “Kolam dengan ikan bukan hanya sekadar cerita penghasil pundi-pundi rupiah, ia seperti sahabat lama yang diajak komunikasi setiap hari,” jelasnya menerawang.
Ia menegaskan, berkecimpung dengan dunia peternakan pembibitan benih ikan berkurun tahun tak berhenti soal mereguk materi semata. Lebih dalam, di sana ada harapan yang dipancang, ada ketekunan diraut tanpa kenal kata surut.
Jika musim bersahabat, ia habiskan dengan duduk di tepi kolam, mengamati ikan-ikan berenang berputar, seakan terhidang dialog hangat dalam rentang waktu terbentang sedemikian hebat.
Tengah hari. Langit membiru. Awan selaksa salju tengah bertali. Hasril menghela napas dalam-dalam. “Hidup adalah tentang menjaga keseimbangan antara air, ikan dan kesabaran. Saat melihat ikan-ikan berangsur besar, ketika pembeli datang lagi karena percaya pada kualitas bibit, itu memberi kedamaian tersendiri,” ujanya berbinar.
Generasi Muda dan Peternakan
Kini, era persaingan dunia kerja gila-gilaan. Ada baiknya generasi muda melirik dunia peternakan bibit ikan. Prospeknya cukup menjanjikan. Hanya saja, meski produksi cukup baik, rupanya penyerapan pasar belum stabil. Artinya, sumber daya manusia (SDM) untuk jadi penghubung antara pembudidaya dengan pasar memegang peranan vital. Misalnya, melalui platform digital atau juga mengembangkan produk olahan ikan (abon, bakso ikan, nugget) guna memperpanjang umur simpan dan nilai tambah.
Bagi yang tertarik menekuni budidaya ikan air tawar, dengan luas kolam tidak lebih dari 50-100 meter persegi. Kedalaman antara 30-50 sentimeter. Kepadatan berkisar antara 5-50 ekor/meter persegi. Lama pemeliharaan di dalam kolam pendederan/ipukan antara 3-4 minggu pada saat benih ikan berukuran 3-5 sentimeter. “Makanya, sabar dan tekun itu kunci dalam peternakan bibit benih ikan air tawar,” Hasril kembali berujar.
Roda zaman terus melaju tanpa jeda. Ketekunan Hasril menjelma menjadi bisikan sunyi bagi generasi yang berisik. Sementara keberhasilan tumbuh dari jiwa yang tak mudah patah arang, walau usia di ambang senja.
Petang itu langit di atas Mungo berenda jingga. Permukaan kolam kian tenang. Airnya bening kehijauan. Sesekali beriak halus saat benih-benih ikan mungil menyembul ke atas. Air kolam jelas bukan sekadar genangan, tapi adalah rahim kehidupan, tempat harapan ditanam sekaligus masa depan perikanan. Di Mungo, kehidupan berjalan merawat kesabaran, menebar arti kehidupan paling dalam. Barangkali lebih dalam dari kolam-kolam ikan Hasril.*
*) Penulis merupakan siswi kelas X. E1 SMAN 2 Payakumbuh, Sumatera Barat
Komentar Anda :