Home Ekonomi Politik Nasional Daerah Hukrim Gaya Hidup Internasional Indeks
Follow Us ON :
 
Pemangkasan TKD, Pelanggaran Terselubung terhadap UUD 1945
Kamis, 09-10-2025 - 07:45:12 WIB
ilustrasi.
TERKAIT:
   
 

DUA puluh lima tahun lalu, bangsa ini sepakat bahwa kekuasaan tak boleh lagi berpusat di Jakarta.

Otonomi daerah lahir dari luka panjang sentralisme Orde Baru sebuah janji bahwa kekuasaan dibagi, sumber daya diseimbangkan, dan rakyat di daerah diberdayakan.

Namun dua dekade kemudian, janji itu kembali digerogoti bukan oleh kekuasaan politik, melainkan oleh pena kebijakan fiskal.

Pemangkasan Terbesar dalam Satu Dekade

Dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan Transfer ke Daerah (TKD) sekitar Rp 919,8 triliun.

Kementerian Keuangan mencatat, hingga semester I 2025, realisasinya baru Rp 400,6 triliun atau 43,5 persen dari pagu.

Namun untuk APBN 2026, pemerintah mengajukan penurunan TKD menjadi sekitar Rp 650 triliun, sebelum akhirnya disepakati naik sedikit menjadi Rp 693 triliun.

Artinya, tetap ada penurunan lebih dari Rp 220 triliun pemangkasan terbesar dalam satu dekade.

Pemerintah menyebut langkah itu sebagai bagian dari “penataan transfer berbasis kinerja.”

Namun di mata daerah, pemangkasan tetaplah pemangkasan.

Ruang fiskal yang sempit berarti ruang otonomi yang menyusut.

Padahal, Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945 menegaskan hubungan keuangan pusat-daerah dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan.

Ketika pusat mengendalikan hampir seluruh instrumen fiskal, otonomi tinggal nama prosedur administratif tanpa makna substantif.

Paradoks Desentralisasi: Kewenangan Diakui, Sumber Daya Dikunci

Otonomi daerah bukan hadiah, melainkan hak konstitusional. Ia lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tak bisa diseragamkan.

Namun kini muncul paradoks fiskal: kewenangan daerah diakui, tapi sumber dayanya dikunci.

Belasan gubernur dari Sumatera hingga Papua bahkan telah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal Oktober 2025.

Mereka menyampaikan keberatan atas rencana pemotongan TKD 2026 yang dinilai tidak transparan dan berpotensi mengganggu pelayanan dasar.

Banyak yang mengingatkan: gaji ASN, tunjangan kinerja, dan program sosial bergantung pada transfer pusat.

Hubungan pusat-daerah pun kembali menyerupai pola patron–klien: pusat memberi, daerah menunggu.

Padahal semangat otonomi adalah kemitraan, bukan ketergantungan.

Dominasi Baru: Mengatur Daerah Lewat Anggaran

Dalam bahasa hukum tata negara, kondisi ini melahirkan sentralisasi gaya baru — penguasaan daerah lewat instrumen anggaran, bukan instruksi.

Padahal, keadilan fiskal adalah wujud nyata keadilan distributif: pajak dan penerimaan negara dibagi secara proporsional antara pusat dan daerah.

Roh ini terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (UU HKPD), yang menegaskan perlunya memperhitungkan kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan kinerja layanan publik dalam menetapkan TKD.

Namun kenyataannya, kesenjangan fiskal makin lebar.

Daerah dengan PAD tinggi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur masih bisa bernapas.

Sementara Aceh, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat mulai terengah-engah.

Ketika TKD dipotong, yang paling terpukul bukan pejabat, melainkan pelayan publik di garis depan:
guru honorer yang menunggu TPP, bidan puskesmas yang bergantung pada DAK kesehatan, hingga aparat desa yang gajinya tertunda.

Transfer Berbasis Kinerja: Rasional di Atas Kertas, Masalah di Lapangan

Kemenkeu memperkenalkan istilah baru: transfer berbasis kinerja.

Konsepnya, daerah dengan tata kelola baik akan mendapat insentif; yang dinilai buruk menerima lebih sedikit.

Secara teoretis rasional. Namun di lapangan, indikator kinerja tidak selalu mencerminkan realitas sosial ekonomi.

Penilaian sering bergantung pada data kementerian teknis yang tak sinkron dengan kondisi daerah.

Akibatnya, pusat menggunakan kebijakan fiskal untuk mengatur perilaku politik daerah.

Padahal, Pasal 18 UUD 1945 menjamin devolusi kekuasaan, bukan subordinasi.

Kontradiksi Belanja Pusat di Daerah

Lebih ironis lagi, ketika TKD dipangkas, belanja kementerian/lembaga di daerah justru meningkat.

Dalam rapat dengan DPR (September 2025), Menkeu menyebut alokasi program pusat naik dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun.

Pemerintah menamakannya “penguatan peran K/L dalam pembangunan daerah.”

Namun bagi kepala daerah, itu terasa seperti pengambilalihan ruang kebijakan lokal.

Proyek-proyek jalan, jembatan, dan irigasi dirancang dari atas tanpa selalu selaras dengan rencana pembangunan daerah.

Kita kembali ke pola lama: pusat menentukan, daerah melaksanakan.

Bedanya, dulu pakai komando; kini pakai anggaran. Tapi maknanya sama kekuasaan yang terpusat.

Keadilan Fiskal sebagai Fondasi Otonomi

Kebijakan pemotongan TKD seharusnya melalui mekanisme transparan dan konsultatif.

UU HKPD menegaskan bahwa setiap kebijakan transfer wajib memperhatikan asas keadilan dan pemerataan.

Pemotongan tanpa dialog bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) terutama asas transparansi dan partisipasi.

Akibatnya nyata: banyak daerah menunda program sosial, memangkas belanja pegawai, hingga menunda pembayaran tunjangan ASN.

Sebagian bahkan memotong TPP 2–5 persen, seperti yang terjadi di Provinsi Banten melalui APBD-P 2025.

Pemotongan yang lahir dari tekanan fiskal bukan pelanggaran disiplin bukanlah efisiensi, melainkan tanda krisis keadilan fiskal.

Menjaga Urat Nadi Otonomi

Otonomi daerah tidak bisa dijaga dengan pidato.

Ia memerlukan daya fiskal sebagai jantungnya.

Pemangkasan TKD tanpa dialog memotong urat nadi kemandirian daerah dan mengikis kepercayaan yang dibangun sejak reformasi.

Kita pernah belajar dari masa lalu: ketika semua kebijakan dan anggaran datang dari pusat, yang lahir bukan efisiensi, melainkan alienasi.

Rakyat di pinggiran menjadi penonton pembangunan yang dibiayai oleh pajaknya sendiri.

Kini sejarah itu mulai berulang lebih halus, tapi lebih berbahaya.

Dua Jalan Keluar

Pertama, redefinisi konsep kinerja.

Kinerja daerah bukan semata serapan anggaran, tapi kualitas layanan publik dan dampak sosial.

Daerah yang berinovasi harus mendapat insentif, bukan sekadar yang punya PAD tinggi.

Kedua, penguatan forum dialog fiskal.

Kebijakan TKD perlu dibahas secara partisipatif antara pemerintah pusat, DPR, dan asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, ADPSI).

Tanpa dialog, hubungan fiskal akan selalu menjadi monolog dari pusat ke daerah.

Keadilan: Nafas dari Otonomi

Pemangkasan TKD bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan.

Ketika pusat tak percaya daerah, dan daerah tak lagi percaya pada pusat, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan keretakan konstitusional.

Negara kuat bukan karena semuanya dikendalikan dari pusat, tetapi karena daerah-daerahnya berdaya.

Otonomi adalah cara menjaga persatuan melalui keadilan.

Dan negara yang mengikis keadilan daerah, pada akhirnya, akan kehilangan keadilan untuk dirinya sendiri.

Firdaus Arifin 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat




 
Berita Lainnya :
  • Gencatan Senjata Gaza: Penemuan 55 Jenazah dari Reruntuhan
  • Modus Video Call Sex, Pasangan Kekasih Raup Rp1,6 Miliar dari Korban
  • Japanese Walking, Rahasia Orang Jepang Bakar Lemak Lebih Cepat dari Jogging!
  • Wastra Riau Bangkit: Dari Tradisi Melayu ke Panggung Fashion Modern
  • Pemangkasan TKD, Pelanggaran Terselubung terhadap UUD 1945
  •  
    Komentar Anda :

     
    + Indeks Berita +
    01 Gencatan Senjata Gaza: Penemuan 55 Jenazah dari Reruntuhan
    02 Modus Video Call Sex, Pasangan Kekasih Raup Rp1,6 Miliar dari Korban
    03 Japanese Walking, Rahasia Orang Jepang Bakar Lemak Lebih Cepat dari Jogging!
    04 Wastra Riau Bangkit: Dari Tradisi Melayu ke Panggung Fashion Modern
    05 Pemangkasan TKD, Pelanggaran Terselubung terhadap UUD 1945
    06 Taufik Ikram Jamil: Daerah Istimewa Riau Adalah Hak dan Marwah Melayu
    07 Kumpulan Doa Mustajab Agar Urusan Lancar dan Rezeki Mengalir Deras
    08 Tak Perlu ke Kantor Imigrasi, Jemaah Umrah dan Haji Bisa Urus Paspor Secara Kolektif
    09 Gaji Tak Naik, Cicilan Membengkak: Nasib Kelas Menengah Kian Terhimpit
    10 Suzuki XBee 2025 Resmi Meluncur di Jepang: Tampilan Lebih Tajam, Mesin Baru Mild Hybrid
    11 BMKG Pekanbaru: Riau Berpotensi Diguyur Hujan, Waspadai Cuaca Ekstrem Hari Ini
    12 Pemko Pekanbaru Sisa Utang Rp100 Miliar, Agung Prioritaskan Pelunasan
    13 BRK Syariah Tingkatkan Layanan Premium Lewat Kemitraan dengan Platinum Lounge Bandara Pekanbaru
    14 APBD Perubahan Pekanbaru 2025 Disahkan Rp3,21 Triliun, Fokus Bayar Utang dan Perbaikan Jalan
    15 XLSMART Dukung Percepatan Transformasi Digital melalui Pentahelix Digital Summit Palembang 2025
    16 Polres Meranti Tangkap Pencuri Motor dan Pondok Walet, Pelaku Terungkap Lewat Facebook
    17 KWT Kemuning Indah Padang Kembangkan Green House Hidroponik, Jadi Simbol Kolaborasi Perempuan
    18 RAPP Perkuat Mutu Pendidikan Lewat Training of Trainers Fasilitator Daerah
    19 Konstitusi Membuka Jalan, Prof. Jimly: Riau Pantas Berstatus Istimewa Budaya
    20 Capella Honda Resmikan Jurusan TBSM SMK Negeri 1 Mempura Jadi Grade A+, Dukung Pendidikan Vokasi di Riau
    21 Gunungan Sampah di TPA Pekanbaru Kian Mengkhawatirkan, Wako Agung Nugroho Minta Warga Kurangi Plastik
    22 Gubernur Riau Luncurkan Gerakan Gurindam, Tonggak Perubahan Menuju Riau yang Lebih Hijau
     
     
    Galeri Foto | Advertorial | Indeks Berita
    Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Tentang Kami | Info Iklan
    © SITUS NEWS - terpercaya dan bersahabat