Ibu kota Nusantara (IKN) saat ini mulai ramai diperbincangkan lagi oleh banyak orang. Perbincangan ini dilakukan baik oleh akademisi, pelaku bisnis, analis kebijakan, analis militer sampai cerita masyarakat di kedai kopi.
Perbincangan IKN merupakan sesuatu yang menarik dan perlu, sebab IKN akan membawa dampak besar bagi Indonesia di mas mendatang. Perbincangan ini mulai mengimbangi pembicaraan siapakah rokoglh yang akan maju pada pilpres 2024 mendatang, Anies Baswedan, Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo beserta partai koalisinya yang masih mencari format.
Pemerintah dan DPR sendiri nampaknya tidak main-main dalam pemindahan ibukota negara ini. Pada awal 2022, lahirlah undang-undang no 3 tahun 2022 tentang IKN. IKN akan berlokasi di Kalimantan Timur dengan sebagian dua wilayah kabupaten menjadi lokasinya. Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Luas total wilayah yang diamvil dari dua kabupaten ini adalah 256.142 Hektar, dengan rincian 56.180 Hektar wilayah IKN (inti) yang merupakan pusat pemerintahan. 199.962 Hektar merupakan wilayah pengembangan untuk hunian warga, taman kota, sarana publik, pusat perekonomian dan lainnya. Sedangkan luas perairan akan meliputi laut seluas 68.189 Hektar.
Pemerintah pusat sendiri sampai saat ini terus mengupayakan agar pada ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia nanti di tahun 2024, upacara akan berlangsung di istana presiden IKN. Selain itu, 4 kementrian untuk tahap awal juga akan ikut pindah. Emrnteisn tersebut adalah kemetrian dalam negeri, kementrian luar negeri, kementrian pertahanan dan kementrian sekretariat negara. Akibatnya saat ini 3 proyek hunian bagi aparatur sipil negara sedang dibangun dengan anggaran Rp 41 Trilyun.
Bila keseriusan pemerintah pusat ini sungguh besar, lalu bagaimana dengan pemerintahan daerah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Selatan? Sebab wilayah yang akan menjadi IKN ini berdekatan dengan Kalimantan tengah dan Kalimantan Selatan seperti kabupaten Kotabaru.
Tentunya ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Pemerintah daerah baik propinsi dan kabupaten kota. Namun sampai hari ini, belum ada pemerintah daerah yang menanggapi nya dengan serius. Belum ada blue print ( cetak biru) yang menggambarkan daerah untuk menyambut IKN. Secara sosiologis, bila pengembangan daerah menjadi kota, apalagi "kota besar" seperti IKN, maka secara otomatis daerah sekitarnya akan menjadi daerah penyangga atau daerah satelit. Pergeseran nilai akan terjadi pada daerah penyangga ini, baik itu perekonomian, budaya, heterogenitas yang pada gilirannya membuat persaiangan hidup lebih ketat.
Cetak biru tersebut tentunya menjadi suatu keharusan agar satu daerah dapat menciptakan peluang potensi menjadi sebuah aksi bagi pembangunan daerahnya. Dengan rencana besar pemerintah pusat ini, seharusnya Pemda sudah mengambil langkah strategis mulai hari ini.
Dari perencanaa IKN ditahun 2019 lalu yang bertepatan dengan debat kandidat pilkada di Kalimantan tengah dan selatan, IKN tidak menjadi bahasan utama para calon. Hanya seorang calon dari kabupaten Kotabaru yang coba membahas IKN ini namun terpotong oleh waktu debat yang singkat.
Dengan kondisi seperti saat ini, kesalahan daerah penyangga seperti Bekasi, Depok dan Bogor yang pada sisi tertentu kurang mampu mengimbangi hiruk pikuk Jakarta, maka hal sama bisa juga terjadi di daerah penyangga IKN. Kemiskinan, gelandangan, rumah liar, kriminalitas akan menjadi berita sehari-hari pada akhirnya.
Karenanya tak ada pilihan lain bagi pemerintah daerah di Kalimantan untuk segera memikirkan, merencanakan dan mengambil aksi dan porsi mulai hari ini agar kemajuan, pertumbuhan ekonomi, nilai sosial, toleransi dan semakin tingginya heterogen masyarakat bisa terwujud secara bersama. Inilah peluang dan tantangan besar Pemda agar daerahnya bisa diperhitungkan oleh IKN dan daerah lainnya di Indonesia. (Linoviota)
Komentar Anda :