Dosen FISIP Unand Soroti Stagnasi Demokrasi Indonesia dalam Orasi Ilmiah
Rabu, 21-05-2025 - 10:00:22 WIB
 |
Dosen FISIP Unand, Dr Aidinil Zetra orasi ilmiah pada peringatan Dies Natalis ke-32 FISIP Unand di Gedung Convention Hall Kampus Limau Manis, Padang, Selasa (20/5). |
PADANG – Demokrasi Indonesia dinilai stagnan dan kehilangan substansi. Hal ini disampaikan Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas, Dr. Aidinil Zetra, dalam orasi ilmiah peringatan Dies Natalis ke-32 FISIP Unand yang digelar di Gedung Convention Hall, Kampus Limau Manis, Selasa (20/5).
Dalam orasinya, Aidinil menyampaikan kegelisahan intelektualnya terhadap perkembangan demokrasi pasca-reformasi yang menurutnya cenderung prosedural namun minim makna deliberatif.
“Demokrasi kita hidup, tetapi tak bernyawa. Ia hadir dalam bentuk pemilu rutin, namun kosong dari makna deliberatif. Apa yang kita jalankan selama ini hanyalah ritual tanpa ruh,” tegasnya.
Menurut Aidinil, setelah lebih dari dua dekade sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, kualitas demokrasi Indonesia justru menunjukkan kemunduran. Ia merujuk pada sejumlah laporan internasional seperti Freedom House, Economist Intelligence Unit (EIU), dan Bertelsmann Transformation Index (BTI) yang menempatkan Indonesia dalam kategori "demokrasi cacat" atau "sebagian bebas".
Sebagai Sekretaris Universitas Andalas, Aidinil menekankan bahwa demokrasi elektoral saja tidak cukup untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
“Yang kita perlukan bukan hanya suara, tetapi ruang bicara bersama. Demokrasi sejati tidak berhenti di kotak suara, melainkan harus dilanjutkan dengan musyawarah dan diskusi publik yang mendalam,” ujarnya.
Ia mengangkat konsep demokrasi deliberatif, yakni sistem yang mengedepankan dialog inklusif dan rasional dalam pengambilan kebijakan, bukan sekadar hasil suara mayoritas. Aidinil menilai, ruang deliberasi yang sehat dan representatif bagi seluruh kelompok masyarakat masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Beberapa persoalan yang ia soroti antara lain dominasi elite dalam forum-forum musyawarah seperti Musrenbang, rendahnya partisipasi masyarakat, serta ketidakpercayaan publik terhadap proses formal yang dianggap simbolik.
“Bukan hanya para elite yang kerap memonopoli keputusan, tetapi kelompok rentan bahkan memilih tidak hadir karena merasa suaranya tidak didengar. Ini adalah kegagalan sistemik,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Aidinil mendorong integrasi antara demokrasi elektoral dan deliberatif. Ia mencontohkan praktik di negara seperti Brasil yang menerapkan Participatory Budgeting dan Kanada dengan citizens’ assembly yang melibatkan warga secara langsung dalam perumusan kebijakan publik.
“Indonesia tak harus meniru, tapi bisa menumbuhkan demokrasi dari akarnya sendiri. Musyawarah, rembug warga, dan gotong royong adalah warisan lokal yang bisa diperkuat dengan prinsip-prinsip modern deliberasi,” jelasnya.
Orasi tersebut ditutup dengan harapan agar demokrasi Indonesia tidak lagi semata-mata diukur dari tingkat partisipasi pemilu, tetapi juga dari keterlibatan nyata masyarakat dalam proses kebijakan publik.
“Bayangkan suatu hari nanti, suara seorang petani di pelosok bisa bergema hingga ke ruang keputusan nasional. Itulah demokrasi yang kita perjuangkan—demokrasi yang hidup, bernyawa, dan bermakna,” pungkas Aidinil.(Rilis)
Komentar Anda :